Selamat Datang

Selasa, November 30, 2010

Tips Memimpin dari NOL

Dahulu ketika saya, memulai karir di sebuah perusahaan multi nasional tahun 1996, bos saya adalah pemimpin yang sangat muda sekali, usianya baru 28 tahun. Ketika itu usia saya, 38tahun, lebih tua 10 tahun, jabatan saya baru junior executive selevel dengan senior supervisor. Saya tidak memiliki anak buah dan bos saya ketika itu sudah memiliki kurang lebih 125 orang anak buah di satu department besar di perusahaan kami. Pangkat dan jabatan bos saya ketika itu VP (Vice President, Department Head). Suatu jabatan yang tinggi dan prestisus di mata kami semua. Dia berkebangsaan Sri Lanka. Setiap hari kami selalu berbahasa Inggris. Yang membuat saya terkesan dengan penampilannya ialah, ia selalu berbaju rapi dan lengan panjang. Bajunya tak banyak warna, selalu putih. Ketika ia harus meeting dengan department lain, misalnya saat koordinasi ”new product launch”, ia tampil dengan berdasi. Namun, jika hari itu tidak ada meeting, ia berpakaian biasa, baju putih
rapi seperti biasa. Ia tidaklah ganteng untuk ukuran pria, biasa saja, standard. Ia juga tidak berperawakan tinggi besar, tingginya kurang lebih 170cm saja dan berat badan standard 65kg, layaknya pria Asia. Pemimpin hebat tidak ada hubungannya dengan perawakan tubuhnya yang besar atau berdarah biru dst. Ia manusia biasa.

Bisa dikatakan bos saya ketika itu pemimpin muda yang mulai memimpin dari nol. Ia ditugaskan dari kantor pusat kami di Eropa ke Indonesia, karena kompetensi dan prestasi tugasnya yang bagus disana. Di kantor pusat, ia membawahi region Asia Pacific di divisi marketing. Namun, dengan usia yang muda belia, ia mampu menjalankan tugas yang sangat berat, memimpin sebuah department besar. Ia berani menerima tantangan atasannya di Eropa untuk menerima tugas baru sebagai ”expart” di Asia. Ia berceritera: ”Di kantor pusat, saya adalah manager muda yang bekerja sendiri tanpa anak buah. Teman dan anak buah saya satu-satunya adalah PC saya. Namun ketika saya tiba di Indonesia, saya begitu terkejut, ternyata department yang harus saya pimpin besar sekali. Untung saya, memiliki Anda semua sebagai tim saya. Saya pasti bisa dengan dukungan Anda semua!” Itulah kesan pertamanya ketika harus memimpin kami yang tersebar di seluruh Indonesia dan mengelola bisnis yang
besar.

Tambahan, ia belum mengenal budaya Indonesa, tetapi ia nampak sangat percaya diri dan kreatif. Bahkan ia sangat mengandalkan “common-sense”. Didalam berbicara, menganalisa dan mengambil keputusan, ia tidak pernah ragu. Tidak sekalipun, saya lihat ia ragu-ragu dalam memutuskan sesuatu, meskipun itu adalah hal baru bagi dia dan baru bagi kami. Kami semua mengakui bahwa ia pandai dan cerdas. Analisanya cepat dan jitu. Ketika kami semua ragu-ragu terhadap satu hal, ia langsung memanggil wakilnya dan beberapa manager ke ruangannya. Ruang kerjanya tidaklah besar, hanya ada 3 kursi saja di depan mejanya. Pada umumnya, ia memimpin meeting dengan singkat, to the point dan cepat. Ia tidak suka anak buah yang bertele-tele dan “ngalor-ngidul” (panjang lebar, kemana-mana, tidak karuan) dalam mengemukakan fakta dan data. Strategi yang selalu ia pakai ialah sebuah cara yang cerdas, yaitu mengajukan pertanyaan. Pertanyaannya selalu detail, mendalam (tidak hanya
dipermukaan) dan membutuhkan bukan hanya “tahu” tetapi harus “beralasan” untuk menjawabnya. Dengan cara ini, rupanya ia mampu dengan cepat menguasai pengetahuan lapangan dan market di Indonesia. Setelah semua data dan informasi yang akurat terkumpul, ia lalu berani mengambil keputusan yang besar dan strategis sekalipun. Saya selalu ingat kata-kata ajaibnya yang ia selalu ucapkan ketika sedang menghadapi masa-masa sulit dan kritis. Dengan tersenyum ia berkata lantang: “Anywhere in the world, management is just common sense. Business is common sense, too.” Itu saja yang selalu saya ingat hingga hari ini. Sebuah pelajaran sederhana dari orang yang sederhana cara berfikirnya.

Ia suka bekerja sama sebagai tim yang kuat dan kompak. Ia tidak suka bekerja sendiri. Ketika itu, tahun 1996 perusahaan kami merencanakan meluaskan “bisnis coverage” ke Ambon dan Irian Jaya. Untuk itu, ia menyiapkan “strategic plan” bidang marketing untuk produk yang kami pasarkan, hanya dalam kurang dari 1 minggu bersama para manager department kami. Ia mendengarkan segala masukan dari timnya dengan baik. Ia tampung dan catat semua pendapat dan gagasan dari bawah. Ia tidak pernah merendahkan pendapat kami atau menyalahkan kami. Kami merasa dihargai. Ia jago brain-storming. Setelah rencana kami matang, ia lalu perjuangkan Ambon dan Irian Jaya, agar ditempatkan 1 orang medical delegate (MD) di tiap kotanya. Perjuangannya ke Marketing Director akhirnya berhasil. Pada zamannyalah, untuk pertama kalinya perusahaan kami memiliki bisnis baru di Ambon dan Irian Jaya. Ialah pencetus gagasannya.

Ia terapkan ”management by walking around.” Untuk lebih mengenal kinerja tiap anak buahnya di lapangan yang tersebar dari Aceh hingga Irian Jaya, ia selalu sempatkan supervisi dan monitoring ke region-region setiap bulan secara rutin. Dengan kunjungannya yang rutin ke lapangan, membuat hubungan kami, antara atasan-bawahan menjadi sangat dekat dan akrab. Sebagai Department Head kami, ia praktis sangat sibuk sekali, jadwalnya selalu padat. Namun jika kami memiliki masalah, ia selalu ada waktu buat kami. Ia selalu membuka pintu kamarnya untuk kami masuk dan berbicara kepadanya kapan saja, tanpa appointment. Di dalam ”time management” ia gunakan style ”15 minute talk”. Bagi dia, 15 menit cukup untuk menyampaikan sesuatu yang penting. Kami diajarkan untuk berfikir ringkas, padat dan sederhana. Ia adalah gembala yang baik.

Selain percaya dirinya yang amat menonjol, ia juga tipe pemimpin yang tegas. Sekali ia memutuskan sesuatu, ia tak pernah harus mengakui berbuat salah dan menarik keputusannya. Oleh karena itu, ia selalu disegani baik oleh seluruh anak buahnya dan oleh Department Head lainnya. Kami semua sangat menghormatinya, karena ia menghormati kami. Ia teguh dengan pendiriannya. Itu prestasi yang amat luar biasa, mengingat ia masih sangat muda. Rata-rata usia anak buahnya, kurang lebih 35 tahun. Tertua ketika itu, 47-48 tahun, wakilnya sendiri. Termuda, kurang lebih 24 tahun, para fresh-graduate yang baru lulus D3 maupun S-1. Ia bisa mengendalikan kami semua dengan bijak.


Ia memakai brain (otak) dan perasaan secara seimbang. Cara ia memandang bisnis adalah ”common-sense”. Ia selalu menasehati kami, bahwa bisnis dan manajemen adalah common-sense. ‘Gunakan common-sense dan rasa seni, maka Anda akan selamat dimana saja..” itu ucapannya yang selalu saya ingat sampai hari ini. Ia selalu mencoba ”dekat” dengan kami. Ia tahu perasaan kami, yang sebenarnya tak rela dipimpin manager asing. Suatu peristiwa, ketika target tercapai, ia merayakan bersama kami semua di rumah dinasnya di permata hijau. Rumahnya besar, lengkap dengan kolam renang dan satpam penjaga. Ia sendiri yang memasak semua makanan dan ia sajikan untuk kami. Di rumahnya ia hias, di kulkas penuh minuman. Kami makan dan bersenang-senang hingga puas. Ada yang diceburkan ke kolam renang dan lempar-lemparan baju basah. Rasa sosialnya tinggi. Ia selalu berusaha mengerti perasaan kami dan itu berhasil membuat kami hormat dan dekat kepadanya. Rata-rata setiap
bulan ia mengundang kami ke rumahnya untuk sosialisasi. Di saat-saat tertentu, ia mentraktir kami ke acara disco di jl Thamrin. Ia berjoget dan berdansa dengan kami, bagai kawan. Namun, ketika di kantor, ia menempatkan diri sebagai atasan dan formal.

Bisa diibaratkan, ukuran department kami (”business size”) adalah sebuah perusahaan kecil sendiri (“mini company”). Bagaimana tidak, orang yang harus ia pimpin adalah 125 orang dan revenue yang harus ia kelola adalah 100 Milyar setahun ketika itu. Hubungan kerja kami berlangsung dalam tempo yang amat tinggi (speed tinggi). Konflik antar department cukup tinggi. Namun ia selalu tampil prima, segar dan fresh. Jarang saya dengar ia mengeluh kepada kami bahwa tugasnya teramat berat.

Ia pemimpin yang tidak banyak bicara, hampir-hampir dikategorikan sebagai pribadi yang ½ pendiam (“talk-less, do-more”). Dengan pribadinya yang tidak banyak mengumbar pembicaraan itu, ia menjadi nampak dewasa dan berwibawa. Heran, di usia yang sangat muda, 28 tahun, ia justru nampak sangat dewasa. Dengan kematangannya itulah, ia berhasil memimpin kami semua yang lebih tua dari sisi usia. Kalau ia tersenyum, senyumnya segar dan benar-benar tulus penuh makna keikhlasan. Rupanya kedewasaannya, tidak bergantung pada usianya. Ia memilih untuk nampak dewasa. Kalau ia berjalan, jalannya penuh wibawa dan jalannya selalu cepat, langkahnya lebar-lebar. Itu yang membedakan kami dengan dia. Ia bagai kereta api yang jelas tujuannya, mau kemana arahnya. Langkahnya dan pembawaannya matang (”mature”).

Selama ia menjadi pemimpin kami, performance bisnis kami meningkat tajam dibandingkan pemimpin sebelumnya. Ia memang produktif dan termasuk tipe pemimpin pembaharu. Ia dikenal juga sangat efisien. Contoh, struktur organisasi yang gemuk, ia rubah menjadi “flat” agar gesit bergerak. Pengeluaran yang boros untuk “printing material” promosi, ia rampingkan, dst. Atas stock-stock “fisnished goods” yang tinggi (“slow-moving”), ia selalu ambil tindakan nyata untuk menghabiskannya lalu ia monitor salesnya. Target-target perusahaan yang tinggi selalu dapat ia capai bersama kami. Gagasan-gagasan dan ide-idenya selalu jernih kedepan. Bagi kami pemikirannya adalah sebuah “road-map” bisnis ke depan. Ia selalu mampu melihat jauh ke depan dibandingkan kami. Misinya jelas. Banyak gagasan produk-produk baru (dan penarikan produk kurang laku dari pasar, ”discontinue”), datangnya dari dia, bukan dari “brand manager”. Ia adalah pemimpin efektif
yang profesional.

Ia tidak pernah mau menyerah dalam segala hal. Kegigihannya dan motivasinya selalu positif dan tinggi. Ia adalah motivator kami. Kami semua terheran-heran bertanya dalam diri kami, “energi apa yang ia punya begitu hebatnya?” Pernah suatu ketika, ada Department Head Engineering, orang Jerman, yang selalu “perang-mulut” dengan bos kami di dalam meeting. Si Jerman itu, selalu dengan segala cara, berusaha memojokkan bos kami di dalam setiap meeting, jika ia ada. Suatu hari, bos kami tak mau kehilangan muka, ia “lawan” dengan gigih si Jerman, hingga si Jerman tak bisa berkutik dan terdiam malu, lalu keluar ruangan meeting. Sejak saat itu, si Jerman tak berani lagi bertingkah di dalam meeting-meeting selanjutnya. Bos kami berceritera tentang triknya itu, bahwa “Dengan siapa saja, jika kamu yakin benar, perjuangkan itu sampai benar-benar all out hingga kamu menang. Jangan mudah menyerah, apalagi lawan orang-orang “jahat” seperti si Jerman itu.
Saya habisi dia di depan atasannya sendiri di meeting tadi...hingga ia takluk!!” Berkat kegigihannya itulah, kami akhirnya menjadi lebih percaya diri dan lebih termotivasi untuk berjuang.

Ia juga jujur dan berintegritas tinggi. Bos saya selalu menegaskan, bisnis akan maju jika kita jujur dan berintegritas. ”Tak ada tempat disini, bagi pemimpin yang tidak jujur,” tegasnya di setiap kesempatan kami semua bertemu, entah dalam meeting, entah saat diskusi, entah sekedar memberi komentar akan “performance” yang sedan anjlok. Dan kata-katanya itu, ia tunjukkan dengan keteladanan. Ia memang melakukannya, tidak hanya “bicara” (“role model”). Sekretarisnya yang sudah sangat senior di perusahaan kami selalu memujinya, bahwa “Bos kita ini jujur..bon-bon minuman beralkohol (bir) yang tidak bisa diklaim, ia tidak masukkan. Kalau bos-bos yang dahulu lain..!”

Ia dikenal sebagai pemimpin yang murah hati dan suka menolong. Pernah suatu hari, ketika krisis ekonomi 1998 terjadi, saat itu kantor kami berada di Wisma Metropolitan II, jl Jend Sudirman Jakarta. Jalanan di depan kantor kami sudah dikepung banyak perusuh. Mobil dan ban-ban dibakar. Kami semua ketakutan dan terperangkap di kantor tidak bisa pulang malam itu. ”Crisis team” lalu dibentuk sore itu dimana ia menjadi salah satu anggota. Kami semua makan indomie di kantor dan minum seadanya. Semua tidak bisa mandi, karena semua toilet tidak didesain untuk mandi. Ia mengeluarkan ide, kami semua yang tidak bisa pulang akan menginap di kantor (tidur di meja masing-masing dialas koran dan majalah). Dan yang bisa pulang akan diantar mobil kantor. Dengan tricknya, setiap pegawai yang pulang, yang non-muslim, dibekali sarung dan kopiyah seadanya, agar aman dari penjarahan dan pencegatan di jalan. Saya dan beberapa kolega wanita kebetulan tidak bisa pulang,
karena daerah komplek kami termasuk rawan. Sehingga kami harus menginap di rumah bos kami di permata hijau esok harinya. Kawasan ini termasuk yang masih aman. Ia sangat murah hati kepada kami dengan membuka rumahnya bagi kami semua. Kami menginap beberapa orang di rumahnya. Ia pinjamkan baju-bajunya untuk kami pakai dan kami masak bersama beberapa hari selama krisis masih terjadi. Setelah krisis mulai reda, ia lalu mengantarkan kami pulang (dengan sopir) satu persatu ke rumah kami masing-masing dengan selamat Yang membuat kami terkejut adalah ia sendiri yang mengantarkan kami semua pulang. Itu pertolongan dan kepekaan yang luar biasa dari seorang pemimpin muda. Kami tak pernah lupa akan kebaikan hatinya, pengorbanannya dan pertolongannya. Ia melindungi kami, bagai gembala yang baik dan bijak. Di kala krisis seperti itu, ia rela ikhlas berkorban bagi timnya. Sejak peristiwa itu, citranya semakin naik tinggi sebagai pemimpin. Ia semakin dihormati banyak
orang di kantor. Pujian banyak berdatangan kepadanya atas jasa-jasanya yang nyata itu, yang dituliskan oleh President Director kami di ”notice board” (papan pengumuman). Ia benar-benar luar biasa, menggunakan otak dan hati secara seimbang. Ia telah berhasil membangun kerjasama dan kedekatan yang sangat baik dengan timnya. Ia si pembela timnya dan pelindung serta pengayom.

Tak lama setelah ia berhasil di Indonesia selama 4 tahun masa kerjanya, ia lalu diberi promosi memimpin sebuah divisi marketing di negaranya, Sri Lanka, sebagai Marketing Director di usianya yang ke 32 tahun tahun 2000. Kami mendengar bahwa ia juga berhasil di Sri Lanka sebagai Marketing Director. Lalu ia dipindahkan lagi sebagai Marketing Director di Jepang dan China. Dan terakhir tahun 2005, ia sudah menjadi Presiden Director di Vietnam di usianya yang ke 37 tahun. Ia salah satu contoh pemimpin sukses yang memulai karir memimpinnya dari nol (dari muda belia).
Semoga menginspirasi para pemimpin yang dari nol.

Saya berterima kasih kepadanya, karena telah menjadi inspirasi cerah bagi saya.
Semoga Tuhan terus menyertai karirnya hingga kini.

salam mulia penuh bahagia

HARRY 'UNCOMMON' PURNAMA
TRAINER "MATURE LEADERSHIP"
0813.8286.3949

Tidak ada komentar:

Posting Komentar